Posisi Tentara Indonesia pada Fase Perjanjian Linggarjati dan Perjanjian Renville

Perjanjian Linggarjati dan Renville
Daftar Isi

AKMIL – Perundingan Linggarjati dan Perjanjian Renville adalah dua perjanjian yang saling terikat. Meski telah memproklamasikan kemerdekaan pada tahun 1945, ternyata di tahun-tahun berikutnya Indonesia masih mengalami beragam gesekan dengan berbagai pihak.

Dan salah satu gesekan yang terjadi menghasilkan Perundingan Linggarjati dan Perjanjian Renville. Lalu apa keterkaitan dua perjanjian ini? Dan apa yang dibahas di dalamnya? Mari kita telisik lebih dalam tentang keduanya.

Perjanjian Linggarjati

Perundingan Linggarjati dilangsungkan di Desa Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat pada tanggal 11-13 November 1946. Perundingan ini adalah perundingan yang terjadi antara Indonesia dan Belanda yang diparaf pada tanggal 15 November 1946. Perundingan ini ditandatangani secara resmi pada tanggal 25 Maret 1946 di Istana Rijswijk atau Istana Negara di Jakarta.

Perjanjian Linggarjati lahir dari perundingan-perundingan sebelumnya yang tidak menghasilkan keputusan yang kurang menguntungkan bagi Indonesia. Sebelum perjanjian ini, terdapat perjanjian Hoge Veluwe pada tanggal 2 Mei 1946 yang mengalami kegagalan. Pasca-perjanjian Hoge Veluwe gagal, Van Mook mengajukan usulan:

  1. Pemerintah Belanda mengakui RI sebagai bagian dari persemakmuran (gemenebest) Indonesia yang berbentuk federasi (serikat), yakni Indonesia Serikat.
  2. Negara Indonesia Serikat di satu pihak akan terdiri dari Nederland, Suriname, dan Curacao, namun di lain pihak akan merupakan bagian-bagian dari Kerajaan Belanda.
  3. Pemerintah Belanda akan mengakui de facto kekuasaan RI atas Jawa, Madura dan Sumatera, dikurangi dengan daerah-daerah yang diduduki oleh tentara Inggris dan Belanda.

Tentu saja usulan Van Mook ini ditolak oleh Pemerintah RI karena hanya menguntungkan pihak Belanda. Pada tanggal 17 Juni 1946, Sjahrir memberikan usul pada Belanda yang berisi:

  1. Republik Indonesia berkuasa secara de facto atas Jawa, Madura, dan Sumatera ditambah dengan daerah-daerah yang dikuasai oleh tentara Inggris dan Belanda.
  2. Republik Indonesia menolak ikatan kenegaraan dan menghendaki agar Belanda menghentikan pengiriman pasukan Belanda ke Indonesia, sedangkan pemerintah RI tidak akan menambah pasukannya.
  3. Pemerintah Republik menolak suatu periode peralihan di bawah kedaulatan Belanda.

Usulan Sjahrir ini ditolak oleh Belanda, sehingga Pemerintah RI dan Belanda mengalami kebuntuan. Pada Agustus 1946, Sekutu mengambil peran dengan menawarkan arbitrasi melalui diplomat Inggris, Lord Killearn. Keberadaan diplomat ini berhasil meyakinkan Sjahrir untuk kembali berunding dengan Belanda.

Di samping untuk berunding mengenai Indonesia dan Belanda, pertemuan Sjahrir dengan diplomat Inggris juga untuk membicarakan gencatan senjata. Pada tanggal 17 September 1946, Sjahrir mengirimkan delegasi Tentara Republik Indonesia (TRI) untuk berunding dengan Sekutu membahas gencatan senjata. 

Delegasi Indonesia dipimpin oleh Mayor Jenderal Sudibjo didampingi oleh 6 orang anggota lainnya. Dalam perundingan dengan Sekutu itu, delegasi Indonesia mengajukan nota yang terdiri dari 5 pasal, yaitu: 

  1. Gencatan senjata total di darat, lalut, dan udara.
  2. Penghentian pemasukan pasukan Belanda ke Indonesia.
  3. Jaminan dari Amerika Serikat bahwa AS tidak akan menyerahkan senjata-senjatanya kepada pihak Belanda.
  4. Pembukaan atau kebebasan memakai jalan darat, laut, dan udara oleh pihak RI.
  5. Penyingkiran orang Jepang baik sipil maupun militer dari seluruh Indonesia.

Usulan yang diajukan oleh delegasi Indonesia ini ditolak oleh Sekutu. Meski begitu, perundingan Indonesia dan Belanda tetap berlanjut. Sjahrir membentuk delegasi Indonesia untuk berunding dengan Belanda, Syahrir membentuk kabinetnya yang ke-3 pada tanggal 2 Oktober 1946. 

Delegasi Indonesia dipimpin langsung oleh Perdana Menteri Sjahrir dengan beranggotakan Mr. Mohammad Roem, Mr. Susanto Tirtoprodjo, dr. A.K. Gani, Ali Budiardjo sebagai sekretaris, dan beberapa anggota cadangan seperti Mr. Amir Sjarifuddin, dr. Soedarsono, dan dr. J. Leimena.

Dan pihak Belanda juga menyusun komisi Jenderal yang ditugaskan untuk berunding dengan Indonesia. Komisi Jenderal tersebut dipimpin oleh Prof. Schermerhorn dengan beberapa anggota yaitu  Max van Poll, F. de Boer, dan H.J. Van Mook.

Perundingan Linggarjati terjadi dalam tiga tahapan:

  1. Perundingan tahap pertama, perundingan pendahuluan.
    Berlangsung pada tanggal 7 Oktober 1946 di Jakarta, dan pada tanggal 14 Oktober 1946 tercapai kesepakatan mengenai unsur-unsur pokok yang akan  dibicarakan, yaitu:

    • Delegasi Indonesia, Inggris, dan Belanda setuju mengadakan gencatan senjata atas dasar kedudukan militer pada waktu kini dan atas dasar kekuatan militer.
    • Disetujui pembentukan komisi gencatan senjata yang bertugas untuk menimbang dan memutuskan pelaksanaan gencatan senjata dan pengaduan terhadap pelanggaran.
    • Komisi ini bekerja sampai 30 November 1946 dengan susunan anggota adalah: Mr. Wright (Ketua), Mayor Jenderal E.C. Mansergh, Kolonel Laut Cooper, Air Commodore Stevens, Mayor Jenderal Formann, dr. Sudarsono, Jenderal Soedirman, Laksamana Muda M. Nazir, Marsekal Pertama Soerjadarma, Dr. Idenburgh, Letnan Jenderal Spoor, Laksamana Pinke, dan Mayor Jenderal Kengen.
    • Disetujui bersama membentuk sub-komisi teknis yang terdiri atas para kepala staf militer Inggris, Indonesia, dan Belanda. 
  2. Perundingan tahap kedua.
    Perundingan kedua ini diadakan di Desa Linggarjati, Kuningan, Jawa Barat pada tanggal 11-13 November 1946. Perundingan yang terdiri atas 17 ayat, yang isinya antara lain:

    • Belanda mengakui secara de facto Pemerintah Republik Indonesia atas Jawa, Madura, dan Sumatra.
    • Pemerintah Republik Indonesia dan Belanda bersama-sama menyelenggarakan berdirinya sebuah negara berdasarkan federasi dengan nama Negara Indonesia Serikat.
    • Pemerintah Republik Indonesia Serikat akan tetap bekerjasama dengan pemerintah Belanda dengan membentuk Uni Indonesia-Belanda. 
  3. Perundingan tahap ketiga.
    Perundingan tahap akhir ini dilaksanakan pada tanggal 15 November 1946 di Istana Merdeka Jakarta (dulu namanya Istana Rijswijk). Dalam tahap ketiga ini diumumkannya secara resmi naskah kesepakatan perundingan, dan juga terdapat agenda pidato perpisahan dari Lord Killearn yang mewakili Inggris.Di sore harinya naskah dalam bahasa Belanda diparaf di rumah Sjahrir, naskah dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris baru diparaf pada tanggal 18 November 1946. Perjanjian Linggarjati setelah diparaf masih memerlukan persetujuan dan ditandatangani oleh Parlemen Belanda serta Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) yang bertindak sebagai parlemen RI. Banyaknya pro kontra di tubuh KNIP dan juga partai-partai politik yang kecewa menyebabkan naskah ini baru bisa ditandatangani pada tanggal 25 Maret 1947.

Perjanjian Renville

Perjanjian renville dilangsungkan di geladak USS Renville, sebuah tempat netral yang berlabuh di Jakarta pada tanggal 8 Desember 1947 sampai 17 Januari 1948. Perjanjian renville ini adalah perjanjian yang terjadi antara Indonesia dan Belanda untuk menyelesaikan sengketa Perundingan Linggarjati.

Perjanjian ini dimediasi oleh Komisi Tiga Negara (KTN), yang meliputi Amerika Serikat, Australia, dan Belgia, negosiasi ini dimulai pada tanggal 8 Desember 1947. Perjanjian ini membahas mengenai sengketa perjanjian sebelumnya yang meliputi Garis Van Mook, perbatasan antara Indonesia dan Belanda.

Dewan Keamanan PBB pada tanggal 1 Agustus 1947 mengeluarkan resolusi gencatan senjata antara Belanda dan Indonesia. Dan Gubernur Jenderal Belanda Van Mook mulai memerintahkan gencatan senjata pada tanggal 5 Agustus. 

Di tanggal 25 Agustus Dewan Keamanan menyetujui resolusi yang diusulkan oleh Amerika Serikat, dimana Dewan Keamanan akan menyelesaikan konflik antara Indonesia dan Belanda secara damai dengan membentuk KTN.

Indonesia diwakili oleh Amir syarifudin dan beberapa delegasi Indonesia seperti Ali Sastroamijoyo, H. Agus Salim, Dr.J. Leimena, Dr. Coatik Len dan Nasrun. Pihak Belanda diwakilkan oleh orang Indonesia yang pro Belanda “Raden Abdul Kadir Wijoyoatmojo” dan beberapa anggota lainnya yaitu Van Vredenburgh, P.J. Koets, dan Chr. Soumokil. 

KTN yang diwakili oleh Amerika Serikat, Australia, dan Belgia, berperan sebagai mediator. Frank P Graham dari Amerika berada di pihak netral, Richard C Kirby dari Australia mendampingi Indonesia, dan Paul van Zeeland dari Belgia sebagai wakil Belanda. 

Di tanggal 29 Agustus 1947, Belanda mendeklarasikan Garis Van Mook yang memisahkan wilayah tersebut dari Indonesia dan Belanda. Republik Indonesia mendapat sepertiga pulau Jawa dan sebagian besar pulau Sumatera, tetapi Indonesia tidak mendapat daerah penghasil pangan utama. Blokade Belanda juga mencegah masuknya senjata, makanan, dan pakaian ke wilayah Indonesia.

Perjanjian Renville ini ditandatangani di atas kapal pengangkut tentara Amerika, Kapal USS Renville yang berlabuh di Teluk Jakarta pada 17 Januari 1948 dan 19 Januari 1948. Adapun isi perjanjian Renville adalah:

  1. Pembentukan Republik Indonesia Serikat (RIS) dengan segera.
  2. Republik Indonesia merupakan negara bagian RIS.
  3. Belanda tetap menguasai seluruh Indonesia sebelum RIS terbentuk.
  4. Wilayah Republik Indonesia yang diakui Belanda hanya Yogyakarta, Jawa Tengah, dan Sumatera.
  5. Wilayah kekuasaan Indonesia dengan Belanda dipisahkan oleh garis demarkasi yang disebut Garis Van Mook.
  6. TNI harus ditarik mundur dari Jawa Barat dan Jawa Timur atau wilayah-wilayah kekuasaan Belanda.
  7. Akan dibentuk UNI Indonesia-Belanda dengan kepalanya Raja Belanda.
  8. Akan diadakan plebisit atau referendum (pemungutan suara) untuk menentukan nasib wilayah dalam RIS.
  9. Akan diadakan pemilihan umum untuk membentuk Dewan Konstituante RIS.

Dengan diterimanya Perjanjian Renville ini berdampak pada berubahnya arah politik Indonesia. Penghapusan kiri merupakan cikal bakal pemberontakan PKI di Madiun pada 18 September 1948 di tengah konflik berkepanjangan antara Belanda dan Indonesia. 

Ditambah daerah-daerah penghasil kebutuhan pokok dikuasai oleh Belanda sehingga menyebabkan kemunduran ekonomi Indonesia, terutama ketika Belanda melakukan blokade ekonomi.

Selain berimbas pada sisi politik dan ekonomi, Perjanjian Renville ini juga menghadirkan huru-hara di tengah-tengah angkatan bersenjata Indonesia atau TNI. TNI diharuskan mundur dari wilayah Jawa Barat dan Jawa Timur. 

Kesepakatan ini melatarbelakangi adanya Long March of Siliwangi, di mana para prajurit divisi Siliwangi melakukan long march dari Jawa Barat ke Jawa Tengah dan Yogyakarta. Di lain sisi, hal ini memicu pemberontakan dari Kartosuwiryo dan prajuritnya yang tidak mau meninggalkan Jawa Barat. 

Dalam kedua perjanjian ini, angkatan bersenjata yang saat ini kita kenal dengan sebutan Tentara Nasional Indonesia telah mengambil banyak peran yang penting bagi kemajuan NKRI. Dan hingga saat ini, peran TNI sangatlah dibutuhkan untuk menjaga keamanan negara.  

Untuk kamu yang mau lolos jadi abdi negara, bisa banget ikut Bimbel AKMIL, AKPOL, dan Kedinasan Terpercaya! di sini.

SOURCE:
Perjanjian Renville dan Upaya  Busuk Belanda
Perundingan Linggarjati
Sejarah dan Isi Perjanjian Renville: Upaya Belanda untuk Menguasai Indonesia 

image source:
fahum.umsu.ac.id

Loading

Bagikan Artikel

Leave a Reply